DI NEGERI SENDIRI
TAPI TERASA ASING
Somewhere, 30 Agustus 2013
Yth. Bapak/Ibu yang berwenang,
Semoga Tuhan mengijinkan Anda
membaca apa yang saya alami hari ini, dan sudah sering kali dialami oleh warga
yang lain.
Saya adalah warga salah satu
kesatuan di negara Indonesia, sebut saja KTW BRT. Saya sangat mencintai tanah
air saya. Saya berusaha mematuhi hukum dan prosedur yang telah ditetapkan, saya
membayar pajak, saya melaporkan kekayaan serta sumbernya, saya lebih tertarik
untuk berwisata keliling Indonesia dari pada Luar Negeri yang kata orang lebih
indah, saya berusaha membeli produk lokal dari pada impor. Itulah beberapa
bentuk nyata saya mencintai negeri ini. Mungkin belum ada apa-apanya jika
dibandingkan jasa-jasa pahlawan...
Ini mungkin kesekian kalinya saya
merasa tidak puas lebih tepatnya kecewa atas pelayanan dari beberapa instansi
yang saya kunjungi. Walaupun beberapa sudah cukup baik. Pada kesempatan kali
ini saya akan menyampaikan kejadian yang saya alami hari ini. Masalahnya
sebenarnya tidak terlalu berat, tapi “PENTING”. KTP merupakan kebutuhan pokok
setiap warga negara, ibarat manusia kebutuhan pokok adalah sandang dan pangan. Maka
ketika kita menjadi warga negara “KTP” adalah kebutuhan pokoknya. Setiap bepergian
maka yang pertama ditanya adalah KTP, ketika kita melakukan transaksi maka tak
jarang syarat utama adalah KTP.
E-KTP salah satu program
Pemerintah yang bisa dibilang cukup mengecewakan... sudah hampir satu tahun
lebih, E-KTP saya belum jadi. Entah alasannya apa. Ketika ditanya bahannya
habis, ketika ditanya kembali masih di Pusat. Ya Tuhan... padahal salah satu
pekerjaan saya adalah membuat ID Card Karyawan tidaklah cukup membutuhkan waktu
lama. 1 ID Card paling lama 10 menit (dengan bahan dan hasil yang mirip dengan
E-KTP). Mungkin bisa beralasan bukan hanya satu orang, tapi ratusan juta....
Oke, ratusan juta, lantaas apakah hanya satu orang yang mengerjakan? Apakah hanya
satu alat saja? Apakah tidak alasan yang lebih masuk akal lagi? Why dan why masih
banyak lagi why dalam benak saya. Dan finally KTP saya sudah kadaluarsa. Ketika saya info ke yang berwenang, serahkan
KTP matinya, ternyata hasilnya masih nihil. Sudah dua bulan, saya tanpa KTP. Jadi
saya ini orang mana?
Akhirnya saya membuat KTP biasa
di Dinas Kependudukan. Jum’at, 30 Agustus 2013 sekitar jam 10 lewat saya
datang. Dan ternyata kantor telah tutup, dan saya diminta kembali jam 13.30
WIB. Akhirnya saya kembali dikantor tempat saya bekerja. Dan saya melanjutkan
aktifitas pekerjaan saya dan baru bisa kembali ke Kantor Dinas Kependudukan
sekitar jam 15.00. Dan ternyata Para BAPAK-BAPAK PEGAWAI YTH telah bersiap-siap
untuk Pulang. Karena saya sudah terdesak “Kebutuhan Pokok” ini akhirnya saya
nego. Namun tanggapan tak enak dari Bapak yang saya tidak tahu namanya sungguh
tidak enak. Menyalahkan saya kenapa tidak datang lebih awal, hellooooo saya
datang jam 10 bapak... anda kemana... dan masih panjang lagi debatnya, Ya
Allah... Paringi sabar. Dan tak lama saya dipersilakan oleh Bapak yang ada di
sebelah “Bapak yang menjengkelkan” itu. Dan diberi waktu 5 menit, Ya Allah
untuk menjadi warga yang baik kenapa dipersulit seperti ini. Toh saya juga
membayar biaya administraasi bukan gratis. Sesaat itulah saya merasa kenapa
saya merasa asing di negeri ini. Kenapa tak sebaik pelayanan para pegawai di
Jepang?. Dan untuk foto pun saya harus disuruh balik lagi, karena sudah tutup. Saya
minta nego lagi, apakah boleh memberi foto soft copy, karena sebagai seorang
pegawai swasta saya tidak memiliki waktu leluasa untuk bisa mengurus KTP ini. Akhirnya
disepakati menggunakan foto lama yang ada di file Dinas Kependudukan. Tak lama
setelah saya keluar kantor saya dipanggil kembali untuk foto. Selesai sampai
disitu cerita di Dinas Kependudukan. Tinggal menunggu jadi KTP nya semoga tidak
dipersulit.
Tapi saya masih gregetan ketika
berdebat dengan “BAPAK Menjengkelkan” itu. Toh bapak masih duduk disitu, tak
bisakah meluangkan waktu sebentar untuk melayani. Seperti itukah sosok pengabdi
Negara?. Sungguh Bapak saya merasa asing di Negeri saya sendiri. Ketika Sahabat
saya membanggakan produk luar, saya tidak tergiur. Dan memilih produk lokal. Ketika
sahabat-sahabat saya tidak semangat mengikuti upacara 17 Agustus bahkan lupa
syair lagu Indonesia Raya, saya masing semnagat untuk mengikuti dan
menyanyikannya. Ketika orang disekitar saya pesimis bahkan malas menonton
permainan Timnas Indonesia berhadapan dengan luar negeri, saya masih tetap
semangat untuk memberi dukungan, walau hanya berupa teriakan di depan TV.
Bapak, haruskah saya menjadi
pejabat tinggi dulu, atau artis, atau orang kaya, atau pengusaha atau orang
terkenal, dan anda baru bersiap dengan ramah menyapa dan melayani saya? Saya
bahkan sebagai warga tidak merasakan atau saya yang tidak sadar apa yang
dikerjakan oleh Bapak anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik provinsi atau kabupaten. Saya tidak
merasakannya, padahal beliau wakil kami, kami dan anda yang memilih. Tapi kenapa
ketika beliau yang datang anda menghormatinya? Apakah warga biasa seperti saya
juga tidak punya hak yang sama?
Bapak yang terhormat,
Tidak bisakah abdi Negara
bersikap seperti pegawai rumah makan? Yang ramah dan penuh kesabaran? Saya tidak
membesarkan masalah “KTP”. Namun saya menyesalkan atas sikap, perilaku, respon “ABDI
NEGARA” yang terkesan semaunya dewe, seolah-olah kami tak punya perasaan. Tak bisakah
kami punya hak untuk mendapat perlakuan yang baik setelah kami berusaha menjadi
warga yang baik? KALAU BISA DIPERMUDAH KENAPA DIPERSULIT?
Dear Bapak,
Inilah cerita saya, semoga bapak
berkenan membaca dan akan berkurang “Bapak Abdi Yang menjengkelkan”. Walaupun saya
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan tidak menyurutkan cinta saya pada
tanah air ini. Semoga saya dan yang lainnya tidak merasa asing di negeri
sendiri, tidak merasa nyaman di negeri orang daripada negeri sendiri.OH iya, mohon maaf jika ada
yang kurang berkenan
Salam hormat saya,
Rakyat biasa dari pelosok
nusantara